DI kalangan masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Surakarta, sebagian percaya dengan firasat dan tanda-tanda alam bertalian dengan peristiwa besar. Wafatnya Soeharto juga ditandai dengan munculnya tanda alam mirip kejadian sebelum mangkatnya seorang Raja Keraton Solo.
LANGIT yang terang benderang pada pagi hari, mendadak berubah gelap sejak siang hingga menjelang sore. Mendung tebal tampak menyelimuti, sebelum mencurahkan air hujan untuk beberapa saat. Itulah mendhung hangendanu.
Bagi mereka yang titen dengan alam, kondisi Minggu (27/1) kemarin mengingatkan saat-saat menjelang meninggalnya SISKS Paku Buwono XII, 14 Juni 2004. Suasana yang berkesan tintrim, rame namun terasa sepi, begitu kental. ''Ya, itulah tanda-tanda yang saya rasakan. Ternyata itu pralampita, Pak Harto (HM Soeharto) meninggal dunia,'' ujar Winarso Kalingga, pelaku dan pemerhati budaya Jawa asal Solo.
Dalam pengalaman spiritual Kalingga selama ini, alam memang selalu memunculkan pertanda ketika ada pemimpin akan berpulang ke haribaan Tuhan. Beberapa tahun yang lalu, juga tak bisa melupakan bisikan alam ketika seorang raja yang besar di alam republik akan pergi.
''Minggu dengan pasaran wage, kembali saya merasakan pralampita akan kepergian seorang pemimpin,'' tandas dia.
Menariknya, pralampita yang terjadi saat-saat menjelang kepergian SISKS Paku Buwono XII nyaris sama dengan menjelang kepergian Pak Harto. Dalam pengetahuan yang didapatkan dari kebudayaan Jawa, kata Kalingga, mendhung hangendanu merupakan sebuah tengara bakal terjadinya sesuatu yang sangat penting. Termasuk bisa direlevansikan dengan kepergian seorang pemimpin.
''Mendhungnya itu bukan mendhung biasa. Tapi mendhung tebal, hitam dan pekat yang membawa suasana berbeda dari biasanya. Jika dirasakan, memang seperti membawa perubahan yang mendadak pada pikir,'' tandas dia.
Khusus dengan yang terjadi kemarin, juga membawa perubahan rasa sungkawa. Kondisi atau kawontenan yang peteng. ''Itulah yang saya rasakan,'' katanya. ''Namun terlepas dari itu, memang sudah menjadi kersaning Allah. Saya hanya berdoa, semoga almarhum diberikan pengampunan dari Yang Di Atas,'' katanya.
Teja Bathang dan Gempa
Alam juga dianggap memberikan firasat teja bathang atau teja wangkawa, sebagai perlambang manakala akan ada sosok bangsawan, raja, atau pimpinan agung yang akan wafat. Firasat teja bathang biasanya muncul di langit sebagai pelangi pagi. Yang kemunculannya di ufuk barat, bukan ufuk timur lazimnya pelangi (kluwung).
Tentang teja bathang atau teja wangkawa ini, Sri Mangkunegara IV dalam wacana gendhing Rajaswala, menuliskan benda-benda langit beserta tata surya angkasa, berguna bagi makhluk hidup, yang tidak sekadar sebagai hiasan alami, tapi juga dapat memberikan firasat kepada semua umat. Itu sebagaimana dituliskan berikut ini: ''Mega kuwung, teja wangkawa, samya, anggrenggani ngatariksa, maweh, sukeng driya, sakehing dumadi.''
''Persoalannya, apakah di antara kita ada yang masih suka mencermati gejala alam semacam ini?'' ujar Kanjeng Raden Aryo (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM.
Menurut abdi dalem keraton Surakarta itu, selama ini hampir setiap akan terjadi mangkatnya raja-raja Kasunanan Surakata dan raja Kasultanan Yogyakarta, selalu saja di langit muncul teja bathang.
Terakhir, teja itu muncul menjelang kematian Raja Paku Buwana (PB) XII. Waktu itu, bentuk teja bathang muncul membentuk garis cekung. Muncul di atas Keraton Surakarta dan di Astana Pajimatan Imogiri.
Sebab manakala garisnya cembung, justru akan menjadi pertanda kemunculan kejadian besar yang tidak bersifat duka.
Terkait apakah tanda-tanda alam seperti teja bathang itu muncul ketika menjelang kematian Pak Harto, ini yang mungkin tahu adalah warga Jakarta, karena bisa jadi kemunculannya di langit di atas kediaman keluarga Cendana. Atau di langit di atas Astana Giri Bangun, Matesih, Karanganyar yang selama ini sinengker untuk calon pemakaman Pak Harto.
Demikian halnya dengan firasat alam berupa suara ledakan, itu yang paham adalah juru kunci Astana Giribangun, atau orang-orang yang dipilih Tuhan memiliki ketajaman supranatural.
Petir Menyambar
Ada kejadian aneh yang dirasakan seluruh warga, termasuk para pejabat, yang ada di Astana Giribangun saat mempersiapkan pemakaman Soeharto. Ketika bedhah bumi, upacara pembuatan liang lahat di dalam ruang utama kompleks makam, itu terdengar petir menyambar, persis di atas makam.
Cangkulan pertama oleh Bupati Wonogiri Begug Purnomosidhi, yang memimpin upacara bedhah bumi itu bersama Bupati Karanganyar Rina Iriani. ''Saat Pak Begug menghujamkan cangkul ke tanah yang akan dipakai liang lahat Pak Harto tiba-tiba petir menyambar sangat keras,'' kata Sukirno, juru kunci Astana Giribangun.
Namun demikian saat ditanya pertanda apakah petir yang hanya sekali dan sangat keras itu, dia tidak menjawab. Hanya saja, saat Ibu Tien Soeharto wafat dulu, suara gemuruh petir itu terjadi beberapa.
''Kalau yang sekarang, bledheg datang bersamaan dengan bedhah bumi. Kebetulan beliau juga seorang kerabat, karena mertuanya, Soemoharmojo serta orang tua angkatnya, Soeharmanto, juga dimakamkan di Astana Giribangun ini,'' kata dia.
Liang lahat untuk pemakaman Pak Harto berukuran serbadua. Panjangnya 2,2 m, lebarnya 1,2 m dengan kedalaman 2 meter. Bedhah bumi tepat pukul 15.30, didahului upacara membakar kembang setaman dan kemenyan, serta uba rampe lainnya.
Saat itu hujan turun lebat, meski tidak disertai petir. Petir hanya terjadi sekali bersamaan dengan bedhah bumi.
Setelah Begug, diikuti Sukirno dan empat pegawai di Astana Giribangun yang mencangkul sampai selesai. Sekitar tiga jam penggalian liang lahat selesai.
Selain suara petir itu, Sabtu (26/1) sore, di atas kompleks pemakaman dikejutkan dengan munculnya dua ekor burung gagak besar. Kedua burung itu berputaran di atas kompleks pemakaman sampai larut malam. Namun keesokan harinya, sepasang burung itu tidak ada lagi, dan pergi entah ke mana.
Adakah itu isyarat kepergian mantan presiden Soeharto? Tidak ada yang bisa menjawab. Bisa jadi itu hanya fenomena alam biasa, namun ada pula yang menafsirkan lain dan menganggap itu sebagai sebuah firasat.
Gempa
BMG mencatat, pada Sabtu (26/1) terjadi gempa pukul 19.48.03.
Gempa berkekuatan 5,2 SR ini berpusat di 115 km tenggara Wonosari, 128 km tenggara Bantul, 131 km barat daya Wonogiri, dan 138 km tenggara Yogyakarta. Pusat gempa berkedalaman 22 km ini tidak menimbulkan tsunami.
Menurut tokoh pemegang anugerah bintang budaya itu, kemunculan gempa yang terjadi Minggu malam pukul 19.49, yang getarannya dirasakan oleh sebagai masyarakat Surakarta sampai ke wilayah Kabupaten Wonogiri, itu dapat dipahami sebagai firasat alam yang berkaitan dengan mangkatnya mantan presiden Soeharto. Sebab, Pak Harto merupakan sosok wong agung yang pernah kewahyon.
Pada insan yang berpredikat sebagai wong agung, kematiannya pun lazim disambut tanda-tanda alam yang bisa muncul tanpa diduga-duga. Termasuk kemunculan gempa Minggu malam itu misalnya. Hanya saja, hadirnya bumi horeg (gempa) yang terjadi pada bulan Sura di waktu malam hari, itu juga akan memberikan sinyal bakal terjadinya larang pangan (mahal pangan).
Di Jakarta, hujan deras turun di sebagian Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Rumah duka di Jalan Cendana juga kebagian ''tangisan'' dari langit. (Wisnu Kisawa,Bambang Pur,Joko DH-60)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar